Foto: SuaraSurabaya |
Kabar Pojok Surabaya - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya menilai aparat keamanan melakukan intimidasi, serangan, dan upaya penyensoran kepada jurnalis yang melakukan peliputan aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja (Omnibus Law) di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis (8/10/2020).
Berdasarkan laporan yang diterima AJI Surabaya, setidaknya ada lima kejadian intimidasi dan upaya penyensoran terhadap jurnalis yang bertugas. Baik yang dilakukan oleh aparat keamanan maupun oleh pengunjuk rasa.
Miftah Faridl Ketua AJI Surabaya mengatakan, sejumlah jurnalis mengalami intimidasi saat memotret tindak kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap para demonstran yang tertangkap dan diminta menghapus berkas foto hasil liputan.
Tidak hanya itu, oknum polisi juga mengintimidasi salah seorang di antara jurnalis berupaya merampas dan membanting ponsel milik jurnalis dengan ancaman kekerasan secara verbal.
Ahmad Mukti, fotografer portalsurabaya.com mendapatkan intimidasi oleh dua orang diduga anggota kepolisian yang memaksanya menghapus file-file foto hasil liputan.
Ahmad sempat menghapus sebagian kecil hasil liputannya karena merasa terancam, karena dia diapit dua orang oknum polisi itu di sekitaran Jalan Gubernur Suryo, tepatnya di seberang SMA Negeri 6. Beruntung saat itu ada sejumlah jurnalis lain yang membelanya sehingga sisa berkas foto hasil liputannya terselamatkan.
Selain Ahmad, Agoes Sukarno journalis foto CNN Indonesia TV yang juga sempat menjadi sasaran lemparan batu oleh peserta unjuk bahkan dua kali diintimidasi oknum aparat keamanan dalam dua momen berbeda di lokasi yang sama di Jalan Pemuda.
Pertama saat Agoes merekam sejumlah oknum polisi yang menghentikan sebuah ambulans dan menyeret keluar orang di dalamnya lalu melakukan penganiayaan terhadap mereka. Kedua, saat Agoes merekam penganiayaan yang dilakukan polisi terhadap pengunjukrasa yang tertangkap.
Dalam dua kesempatan itu polisi meminta Agoes agar tidak merekam dan menghapus semua berkas rekaman yang ada padahal Agoes sudah mengaku sebagai jurnalis dan memakai kartu pers. Tapi Agoes menolak dan semua berkas hasil peliputannya terselamatkan.
“Kami menilai aneh, aparat keamanan yang paham hukum masih memakai cara intimidatif dan penyensoran untuk mengontrol kerja jurnalis. Kami paham tensi situasi di lapangan, saat itu. Tugas jurnalis merekam apa yang terjadi secara jujur sesuai prinsip-prinsip jurnalistik. Tensi panas yang dihadapi, baik aparat keamanan dan demonstran, tidak bisa menjadi pembenar aksi penyerangan, intimidasi dan sensor terhadap jurnalis,” ujarnya.
Dalam Pernyataan Sikap AJI Surabaya itu, Faridl menegaskan bahwa seharusnya aparat keamanan memahami bahwa kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang 40/1999 tentang Pers. Di Pasal 8 disebutkan, dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.
Selain itu, di pasal 4 ayat (2) dalam undang-undang yang sama ditegaskan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Juga Pasal 4 ayat 3 yang menegaskan, untuk menjamin kemerdekaan, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
“Alih-alih melindungi kerja jurnalis, aparat keamanan malah menjadi salah satu pelaku intimidasi dan upaya penyensoran. Ini sudah seringkali terjadi dan tidak satu pun kasus itu diselesaikan sesuai undang-undang pers. Impunitas dilestarikan sehingga kasus seperti itu terus berulang,” katanya.
Padahal, apa yang dilakukan aparat keamanan terhadap jurnalis dalam Unjuk Rasa Menolak Omnibus Law kemarin itu melanggar Pasal 18 ayat 1 UU Pers. Bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kerja jurnalis dipidan dengan pidana paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
“Penyensoran ini berkaitan dengan penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan. Sensor dalam bentuk lain adalah teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor atau harus mendapatkan izin dari pihak berwajib. Artinya, para jurnalis tidak perlu mendapatkan izin dan aparat keamanan tidak boleh melarang ketika kami meliput aksi kekerasan yang terjadi, baik yang dilakukan aparat keamanan maupun demonstran,” ujarnya.
Sebab itulah AJI Surabaya mengecam prilaku buruk oknum aparat keamanan yang sebenarnya sudah berulang kali disampaikan berkaitan aksi intimidasi, serangan, dan sensor yang terus berulang.
Faridl pun menyimpulkan, aparat keamanan belum memahami dengan baik aturan tentang pers yang telah ada. Dia pun meminta aparat keamanan untuk kembali membuka dan mempelajari serta memahami UU 40/1999 tentang Pers.
“Dengan belajar lagi isi undang-undang, kami berharap aparat keamanan bisa memahami fungsi dan tugas jurnalis di lapangan. Mungkin dengan literasi, aparat keamanan bisa meninggalkan jalan kekerasan kepada jurnalis. Kecaman ini tak mengubah apapun, karena itu kami ingin ucapakan, selamat belajar lagi,” katanya.
Mengenai upaya intimidasi dan penyensoran jurnalis di lapangan saat terjadinya aksi unjuk rasa di sekitar Gedung Negara Grahadi ini, Kombes Pol Jhonny Edison Isir Kepala Polrestabes Surabaya mengatakan, dia akan mengecek kembali anggotanya. “Nanti kami coba kita cek lagi,” katanya kepada jurnalis di Mapolrestabes Surabaya, Jumat (9/10/2020).
Salah seorang jurnalis dalam kesempatan konferensi pers itu menanyakan, apakah ada sanksi yang dikenakan kepada anggota yang terbukti melakukan intimidasi dan penyensoran terhadap jurnalis? Isir bilang, “kita harus memahami kondisi di lapangan, ya. Saya pikir itu,” katanya.
“Karena,” lanjut Isir, “kawan-kawan juga kalau memakai kartu pers dan sebagainya pasti tidak akan begitu. Nah, sekarang mana? Siapa yang memakai kartu pers? Ada yang pakai? Artinya, ayo, mari kita sama-sama, karena ini situasi di lapangan, kalau kita tidak pukul mundur nanti bisa meluas.”
Padahal, faktanya, sebagaimana disampaikan Miftah Faridl, jurnalis yang mendapatkan perlakuan intimidatif dan upaya penyensoran oleh oknum polisi itu sudah mengenakan kartu pers dan telah menyampaikan bahwa mereka jurnalis yang sedang melakukan peliputan.
Berikut ini kronologi singat intimidasi terhadap lima jurnalis oleh oknum kepolisian dalam aksi Unjuk Rasa Menolak UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang berujung ricuh di sekitaran Gedung Negara Grahadi, Jalan Gubernur Suryo, kemarin.
1. Ahmad Mukti, fotografer portalsurabaya.com diintimidasi dua anggota kepolisian dengan memaksanya menghapus file-file foto hasil liputan. Ahmad sempat menghapus hasil liputannya karena merasa terancam. Ahmad diapit dua orang di Jalan Gubernur Suryo, tepatnya di seberang SMA Negeri 6. Ahmad mengaku sempat menghapus sebagian kecil foto liputannya. Ia mendapatkan bantuan dari jurnalis lain yang melawan dua orang tersebut sehingga file-file foto Ahmad bisa diselamatkan. Ahmad memakai kartu pers dan sudah mengatakan dirinya jurnalis.
2. Farid Miftah Rahman, jurnalis cnnindonesia.com mengalami intimdasi oleh aparat keamanan saat unjuk rasa di depan Grahadi mulai ricuh. Sejumlah polisi berseragam mengerumuninya dan berusaha merampas dan membanting ponselnya. Para polisi ini tidak terima aksinya kekerasan yang dilakukan aparat keamana terhadpa pendemo yang tertangkan, didokumentasikan Miftah. Seorang polisi mengancam dengan kalimat ‘Mas, mau saya pentung!’. Miftah memakai kartu pers dan sudah mengaku sebagai jurnalis saat ancaman itu dia dapatkan.
3. Agoes Sukarno, jurnalis foto CNN Indonesia TV sempat diserang dengan lemparan batu oleh peserta unjuk rasa saat mengambil gambar aksi saling lempar antara peserta unjuk rasa dengan aparat. Agoes juga diintimidasi aparat keamanan sebanyak dua kali dalam momen berbeda di Jalan Pemuda. Pertama, saat Agoes merekam polisi menghentikan ambulans dan menyeret keluar orang di dalamnya lalu menganiaya. Kedua, saat Agoes merekam penganiayaan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa yang tertangkap. Polisi memintanya tidak merekam dan menghapus rekaman yang ada. Agoes memakai kartu pers dan sudah mengaku sebagai jurnalis kepada petugas keamanan yang mengintimidasi.
4. Gancar Wicaksono, jurnalis foto CNN Indonesia TV diintimidasi enam polisi tak berseragam. Mereka memaksa Gancar menghapus file-file gambar polisi yang menganiaya demonstran yang tertangkap dan hendak merebut kamera Gancar di Jalan Gubernur Suryo, tepatnya di depan Alun-Alun Surabaya. Gancar sempat melawan dengan menghalangi upaya paksa aparat keamanan yang hendak mengambil kameranya. Gancar berhasil melindungi hasil liputannya. Gancar sudah memakai kartu pers dan mengaku sebagai jurnalis saat polisi berusaha merebut dan menghapus file liputan dari kameranya.
5. Miftah Faridl, koresponden CNN Indonesia TV yang juga Ketua AJI Surabaya empat kali bersitegang dengan aparat keamanan yang memaksa jurnalis peliput menghapus file-file gambar liputan, baik miliknya sendiri maupun milik jurnalis lain. Intimidasi ini berkaitan dengan liputan yang merekam aksi aparat keamanan menganiaya pendemo yang tertangkap. Pada peristiwa ketiga, Faridl ditantang berkelahi oleh seorang polisi yang melarangnya mengambil gambar. Padahal Faridl sudah memakai kartu pers dan mengaku sebagai jurnalis saat polisi mengintimidasi. [*]
[source: suarasurabaya.net]
Miftah Faridl Ketua AJI Surabaya mengatakan, sejumlah jurnalis mengalami intimidasi saat memotret tindak kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap para demonstran yang tertangkap dan diminta menghapus berkas foto hasil liputan.
Tidak hanya itu, oknum polisi juga mengintimidasi salah seorang di antara jurnalis berupaya merampas dan membanting ponsel milik jurnalis dengan ancaman kekerasan secara verbal.
Ahmad Mukti, fotografer portalsurabaya.com mendapatkan intimidasi oleh dua orang diduga anggota kepolisian yang memaksanya menghapus file-file foto hasil liputan.
Ahmad sempat menghapus sebagian kecil hasil liputannya karena merasa terancam, karena dia diapit dua orang oknum polisi itu di sekitaran Jalan Gubernur Suryo, tepatnya di seberang SMA Negeri 6. Beruntung saat itu ada sejumlah jurnalis lain yang membelanya sehingga sisa berkas foto hasil liputannya terselamatkan.
Selain Ahmad, Agoes Sukarno journalis foto CNN Indonesia TV yang juga sempat menjadi sasaran lemparan batu oleh peserta unjuk bahkan dua kali diintimidasi oknum aparat keamanan dalam dua momen berbeda di lokasi yang sama di Jalan Pemuda.
Pertama saat Agoes merekam sejumlah oknum polisi yang menghentikan sebuah ambulans dan menyeret keluar orang di dalamnya lalu melakukan penganiayaan terhadap mereka. Kedua, saat Agoes merekam penganiayaan yang dilakukan polisi terhadap pengunjukrasa yang tertangkap.
Dalam dua kesempatan itu polisi meminta Agoes agar tidak merekam dan menghapus semua berkas rekaman yang ada padahal Agoes sudah mengaku sebagai jurnalis dan memakai kartu pers. Tapi Agoes menolak dan semua berkas hasil peliputannya terselamatkan.
“Kami menilai aneh, aparat keamanan yang paham hukum masih memakai cara intimidatif dan penyensoran untuk mengontrol kerja jurnalis. Kami paham tensi situasi di lapangan, saat itu. Tugas jurnalis merekam apa yang terjadi secara jujur sesuai prinsip-prinsip jurnalistik. Tensi panas yang dihadapi, baik aparat keamanan dan demonstran, tidak bisa menjadi pembenar aksi penyerangan, intimidasi dan sensor terhadap jurnalis,” ujarnya.
Dalam Pernyataan Sikap AJI Surabaya itu, Faridl menegaskan bahwa seharusnya aparat keamanan memahami bahwa kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang 40/1999 tentang Pers. Di Pasal 8 disebutkan, dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.
Selain itu, di pasal 4 ayat (2) dalam undang-undang yang sama ditegaskan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Juga Pasal 4 ayat 3 yang menegaskan, untuk menjamin kemerdekaan, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
“Alih-alih melindungi kerja jurnalis, aparat keamanan malah menjadi salah satu pelaku intimidasi dan upaya penyensoran. Ini sudah seringkali terjadi dan tidak satu pun kasus itu diselesaikan sesuai undang-undang pers. Impunitas dilestarikan sehingga kasus seperti itu terus berulang,” katanya.
Padahal, apa yang dilakukan aparat keamanan terhadap jurnalis dalam Unjuk Rasa Menolak Omnibus Law kemarin itu melanggar Pasal 18 ayat 1 UU Pers. Bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kerja jurnalis dipidan dengan pidana paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
“Penyensoran ini berkaitan dengan penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan. Sensor dalam bentuk lain adalah teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor atau harus mendapatkan izin dari pihak berwajib. Artinya, para jurnalis tidak perlu mendapatkan izin dan aparat keamanan tidak boleh melarang ketika kami meliput aksi kekerasan yang terjadi, baik yang dilakukan aparat keamanan maupun demonstran,” ujarnya.
Sebab itulah AJI Surabaya mengecam prilaku buruk oknum aparat keamanan yang sebenarnya sudah berulang kali disampaikan berkaitan aksi intimidasi, serangan, dan sensor yang terus berulang.
Faridl pun menyimpulkan, aparat keamanan belum memahami dengan baik aturan tentang pers yang telah ada. Dia pun meminta aparat keamanan untuk kembali membuka dan mempelajari serta memahami UU 40/1999 tentang Pers.
“Dengan belajar lagi isi undang-undang, kami berharap aparat keamanan bisa memahami fungsi dan tugas jurnalis di lapangan. Mungkin dengan literasi, aparat keamanan bisa meninggalkan jalan kekerasan kepada jurnalis. Kecaman ini tak mengubah apapun, karena itu kami ingin ucapakan, selamat belajar lagi,” katanya.
Mengenai upaya intimidasi dan penyensoran jurnalis di lapangan saat terjadinya aksi unjuk rasa di sekitar Gedung Negara Grahadi ini, Kombes Pol Jhonny Edison Isir Kepala Polrestabes Surabaya mengatakan, dia akan mengecek kembali anggotanya. “Nanti kami coba kita cek lagi,” katanya kepada jurnalis di Mapolrestabes Surabaya, Jumat (9/10/2020).
Salah seorang jurnalis dalam kesempatan konferensi pers itu menanyakan, apakah ada sanksi yang dikenakan kepada anggota yang terbukti melakukan intimidasi dan penyensoran terhadap jurnalis? Isir bilang, “kita harus memahami kondisi di lapangan, ya. Saya pikir itu,” katanya.
“Karena,” lanjut Isir, “kawan-kawan juga kalau memakai kartu pers dan sebagainya pasti tidak akan begitu. Nah, sekarang mana? Siapa yang memakai kartu pers? Ada yang pakai? Artinya, ayo, mari kita sama-sama, karena ini situasi di lapangan, kalau kita tidak pukul mundur nanti bisa meluas.”
Padahal, faktanya, sebagaimana disampaikan Miftah Faridl, jurnalis yang mendapatkan perlakuan intimidatif dan upaya penyensoran oleh oknum polisi itu sudah mengenakan kartu pers dan telah menyampaikan bahwa mereka jurnalis yang sedang melakukan peliputan.
Berikut ini kronologi singat intimidasi terhadap lima jurnalis oleh oknum kepolisian dalam aksi Unjuk Rasa Menolak UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang berujung ricuh di sekitaran Gedung Negara Grahadi, Jalan Gubernur Suryo, kemarin.
1. Ahmad Mukti, fotografer portalsurabaya.com diintimidasi dua anggota kepolisian dengan memaksanya menghapus file-file foto hasil liputan. Ahmad sempat menghapus hasil liputannya karena merasa terancam. Ahmad diapit dua orang di Jalan Gubernur Suryo, tepatnya di seberang SMA Negeri 6. Ahmad mengaku sempat menghapus sebagian kecil foto liputannya. Ia mendapatkan bantuan dari jurnalis lain yang melawan dua orang tersebut sehingga file-file foto Ahmad bisa diselamatkan. Ahmad memakai kartu pers dan sudah mengatakan dirinya jurnalis.
2. Farid Miftah Rahman, jurnalis cnnindonesia.com mengalami intimdasi oleh aparat keamanan saat unjuk rasa di depan Grahadi mulai ricuh. Sejumlah polisi berseragam mengerumuninya dan berusaha merampas dan membanting ponselnya. Para polisi ini tidak terima aksinya kekerasan yang dilakukan aparat keamana terhadpa pendemo yang tertangkan, didokumentasikan Miftah. Seorang polisi mengancam dengan kalimat ‘Mas, mau saya pentung!’. Miftah memakai kartu pers dan sudah mengaku sebagai jurnalis saat ancaman itu dia dapatkan.
3. Agoes Sukarno, jurnalis foto CNN Indonesia TV sempat diserang dengan lemparan batu oleh peserta unjuk rasa saat mengambil gambar aksi saling lempar antara peserta unjuk rasa dengan aparat. Agoes juga diintimidasi aparat keamanan sebanyak dua kali dalam momen berbeda di Jalan Pemuda. Pertama, saat Agoes merekam polisi menghentikan ambulans dan menyeret keluar orang di dalamnya lalu menganiaya. Kedua, saat Agoes merekam penganiayaan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa yang tertangkap. Polisi memintanya tidak merekam dan menghapus rekaman yang ada. Agoes memakai kartu pers dan sudah mengaku sebagai jurnalis kepada petugas keamanan yang mengintimidasi.
4. Gancar Wicaksono, jurnalis foto CNN Indonesia TV diintimidasi enam polisi tak berseragam. Mereka memaksa Gancar menghapus file-file gambar polisi yang menganiaya demonstran yang tertangkap dan hendak merebut kamera Gancar di Jalan Gubernur Suryo, tepatnya di depan Alun-Alun Surabaya. Gancar sempat melawan dengan menghalangi upaya paksa aparat keamanan yang hendak mengambil kameranya. Gancar berhasil melindungi hasil liputannya. Gancar sudah memakai kartu pers dan mengaku sebagai jurnalis saat polisi berusaha merebut dan menghapus file liputan dari kameranya.
5. Miftah Faridl, koresponden CNN Indonesia TV yang juga Ketua AJI Surabaya empat kali bersitegang dengan aparat keamanan yang memaksa jurnalis peliput menghapus file-file gambar liputan, baik miliknya sendiri maupun milik jurnalis lain. Intimidasi ini berkaitan dengan liputan yang merekam aksi aparat keamanan menganiaya pendemo yang tertangkap. Pada peristiwa ketiga, Faridl ditantang berkelahi oleh seorang polisi yang melarangnya mengambil gambar. Padahal Faridl sudah memakai kartu pers dan mengaku sebagai jurnalis saat polisi mengintimidasi. [*]
[source: suarasurabaya.net]